Kamis, 09 April 2009

Tawakal Ataukah Tak Paham?

(Sebuah Cermin dari Mentalitas Anak Negeri)

Oleh : Andris Susanto

"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman…"

Sepenggal lirik yang sempat tersohor dari Koes Ploes. Lirik yang menggambarkan betapa kaya dan suburnya negeri kita. Namun dalam perjalanannya, negeri ini seperti tenggelam dalam keprihatinan dan keterpurukan. Anak bangsa sekarang ini seperti hidup di tanah kering kerontang dan miskin sumber daya alam. Jamrud Khatulistiwa hanyalah kisah yang menyisakan kesengsaraan bangsa pribumi dan gelak tawa bangsa asing. Masih banggakah kita dengan kekayaan yang belum juga bisa kita nikmati?

Miris memang ketika kita harus bercerita tentang kondisi yang melanda Indonesia pada saat ini. Tapi apa hendak dikata, fakta tak dapat disangkal dan dengan terpaksa kita harus jujur bahwa negeri ini masih meminta para pewarisnya untuk bersabar dan bertahan dalam kekurangan. Harga barang kebutuhan yang mahal, harga bahan bakar minyak yang terus naik, tingginya angka pengangguran, lemahnya penegakan hukum, biaya pendidikan yang tinggi, sampai susahnya mendapatkan layanan kesehatan, adalah rangkaian permasalahan bangsa kita yang belum juga menemui titik terang. Siapakah yang bertanggungjawab atas segala penderitaan ini?

Jika mencari siapa yang salah dan bertanggungjawab atas semua ini, tentu akan sulit karena setiap orang memiliki daya resistant tinggi untuk beralibi dan melakukan pembelaan atas apa yang telah dilakukannya. Yang paling mudah sekarang adalah melihat dan berkata jujur tentang siapa yang jadi korban atas segala ketimpangan yang ada di negeri ini?

Rakyat kecil yang harus mencari alternatif bahan bakar karena mahalnya harga minyak tanah, nelayan kecil yang sampannya kalah bersaing dengan pukat harimau para pencuri ikan, korban-korban ketidakadilan karena hukum masih dapat dibeli, para pengangguran yang hanya bisa bingung karena memiliki tingkat pendidikan yang rendah, anak-anak buta huruf yang tidak dapat mengakses pendidikan karena tak memiliki biaya (Angka buta huruf mencapai 18 juta jiwa untuk anak usia 10 tahun ke atas), dan rakyat kecil yang hanya dapat mengerang dalam sakitnya karena tidak kuasa untuk berobat ke dokter, adalah contoh-contoh nyata dari sekian banyak penderitaan yang ada di negeri tercinta ini. Tidak adakah usaha untuk membebaskan diri dari penderitaan-penderitaan itu?

Tidak ada orang yang menginginkan dirinya tertindas. Begitu juga dengan Bangsa Indonesia. Bangsa ini bukan belum pernah berteriak dan berjuang melawan penindasan. Mulai dari era '45 yang disebut-sebut sebagai titik kulminasi, era '66 yang memunculkan Orde Baru, era '98 yang melahirkan Zaman Reformasi, sampai era sekarang yang merupakan lanjutan Zaman Reformasi yang belum juga kelar, bangsa ini senantiasa bangkit melawan ketidakadilan. Namun sayangnya, perjalanan Bangsa Indonesia bak keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Setelah terbebas dari satu kesengsaraan, kita seperti terbelenggu oleh kesusahan yang baru. Dan yang paling mengenaskan, rakyat seperti terbiasa hidup dalam penderitaan. Tawakal kah mereka? Ataukah mereka tidak paham untuk mengidentifikasi apa itu penderitaan?

Contoh riil dari asumsi di atas adalah ketika kita diterpa Krisis Moneter sekira tahun '97. saat itu hampir semua barang kebutuhan mengalami lonjakan harga. Apakah setelah itu harga kembali turun? Tidak! Tapi yang terjadi kita seperti berusaha paham dan memaklumi keadaan tersebut. Dan kehidupan pun berjalan kembali seperti biasa. Contoh terbaru adalah rangkaian kenaikan BBM yang rencananya akan berlanjut pada Januari tahun depan. Rakyat kecil kembali tertindas. Beribu mahasiswa turun ke jalan menentang kebijakan kenaikan tersebut. Namun apa yang terjadi kemudian? Hanya beberapa saat pasca kenaikan per 1 Oktober gelombang perlawanan itu kembali menyurut malahan akhirnya kita terkecoh berebut dana konpensasi yang sungguh tidak dapat dijadikan solusi dari kenaikan BBM tersebut. Apakah itu yang dinamakan dengan teori, "nasi telah jadi bubur"?

Berkaca dari kenyataan di atas, kita tahu bahwa ada yang salah dalam mentalitas dan pola pemahaman bangsa ini. Bagaimana tidak? Jika kita sadar akan apa yang kita miliki, mungkin keadaan bisa lebih baik dari sekarang ini. Memang kini tak ada guna lagi untuk menudingkan kesalahan kepada pihak manapun. Namun perlu kita tinjau kembali makna tawakal jika itu dijadikan alasan kenapa kita bertahan dalam kondisi buruk seperti sekarang ini. Mengutip apa yang dikatakan Emha Ainun Najib. "Bangsa kita memiliki daya tahan yang luar biasa dalam menghadapi penderitaan. Seburuk apapun keadaannya, Rakyat Indonesia selalu bisa bertahan dan menjalani kehidupan seperti biasanya". Menerima segala yang menimpa kita, mungkin itu makna tawakal yang dipahami oleh bangsa ini. Padahal tawakal sendiri tidak sama dengan pasrah atau dengan serta-merta menerima apa yang menimpa kita. Tawakal hanya berlaku pada hasil dari sesuatu yang sebelumnya telah kita upayakan secara maksimal. Jadi bukan kerendahan hati yang menerima tanpa adanya perjuangan keras sebelumnya. Kalo bukan tawakal, jadi apa yang kita lakukan selama ini? Dan mengapa?

Jika kita buka kembali sejarah, 350 tahun bukan masa yang singkat dan itu akan sangat cukup untuk membentuk karakter suatu bangsa. Pembiasaan tertindas telah menciptakan satu mentalitas lembek di negeri ini. Ingat! Kata "rendah" bisa sangat kontradiktif maknanya jika disandingkan dengan kata "diri" dan "hati". Masa penjajahan telah merubah mental bangsa ini menjadi bangsa yang rendah diri dan merasa kecil di hadapan bangsa lain. Sehingga ketika dihadapkan dengan orang asing yang berduit, dengan mudahnya kita luluh dan memilih menyerahkan sumber daya yang kita miliki daripada berani mengolah dan menikmatinya sendiri. Masihkah kita memiliki harga diri?

Derajat manusia tidak dinilai oleh besarnya uang yang dimilikinya. Semua orang juga mengakui persamaan derajat dengan adanya standarisasi Hak Asasi Manusia. Yang perlu kita lakukan sekarang hanyalah berpikir bagaimana caranya kita bisa terbebas dari mentalitas rendah yang rupanya telah terlalu lama membelenggu kehidupan Bangsa Indonesia. Menurut Kwik Kian Gie, kita telah dihinggapi mental inlander. Mental kuli yang tidak memiliki keberanian sedikit pun, yang menghamba ketika berhadapan dengan orang bule (Imam Cahyano, PR 8 Nopember 2005, hal 14). Jadi yang harus kita lakukan sekarang?

Jelas setelah kita runut akar permasalahannya, sekarang kita tinggal mengangkat akar tersebut sebelum terlanjur kokoh memggenggam bumi tercinta ini. Namun daripada itu, pembangunan faktor-faktor penunjang perbaikan negeri harus terus digalakan. Seperti: peningkatan mutu pendidikan, pembenahan sektor ekonomi, dan pembersihan para penyelenggara negara dari kebiasaan korupsi yang sudah cukup lama meradang. Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan kita bisa kembali merekontruksi tatanan kehidupan Bangsa Indonesia. Satu hal yang tak kalah penting, kita juga harus terbiasa bersikap krisis dan sering melontarkan kalimat tanya seperti yang tertera dalam satu iklan. "Tanya kenapa?"

Penulis adalah Ketua BEM FPBS UPI

1 komentar: