Rabu, 29 April 2009

Der Verdacht

Von: Friedrich Dürrenmat

In diesem Roman handelt es sich um einen Polizei Kommissär, der Hans Bärlach heisst. Bärlach soll ins Krankenhaus bleiben, weil er Herzenfall bekam. Dort hat Dr. Samuel Hungertobel für ihn gesorgt. Wegen seiner Krankheit muss er operiert werden. Deshalb muss er länger im Krankenhaus noch bleiben, weil er noch nicht gesund ist. Dr. Hungertobel ist sein alter Freund. Während im Krankenhaus liest Bärlach eine Zeitung. In der Zeitung steht, dass einer Lagerarzt heisst Nehle Operation ohne Narkose in Konzentrationslager Stutthof macht. Dann fragt Bärlach über diese Operation nach Dr. Hungertobel. Diese Frage macht Hungertobel nervös, weil er sich an Emmenberger erinnert. Aber, dann ist Hungertobel gleichgültig. Endlich spricht Hungertobel darüber.

Er fragt das diese Operation da ist, sogar hat er diese Operation gemacht. Danach sucht Bärlach die Information über Nehle, weil er über dunkel Vergangenheit als Lagerarzt eines KZ aufdecken will. Aber polizeiliche Investigation ergeben, dass Nehle schon durch selbstmord im Jahr 1945 aus dem Leben geschieden ist. Deshalb Bärlach ist sehr neugierig und er möchte sein Verdacht beweisen, dass Emmenberger ein Mörder ist und er hat die Menschlichkeit vernichtet. Dann geht er zusammen mit Hungertobel nach Zürich. Dort lässt er sich als Patient im Krankenhaus des Emmenbergens "Sonnenstein" einweisen. Er ist dort unter dem Namen Blaise Kramer. Krankenschwester, die sich für ihn versorgt, heisst Kläri und seine Ärztin ist Dr. Edith Marlok. Dr. Marlok ist die Geliebte des Emmenbergers. Dr. Emmenberger hat Bärlach Insulinkur gemacht, deshalb ist Bärlach kraftlos und er ist fünf Tage ohnmächtig. Sodass er nicht weiss, dass das erste Tag da neue Jahr schon vorbei ist. Endlich wissen Dr. Marlok und Emmenberger, wer eigentlich Herr Kramer ist. Sie wissen von der Zeitung "Der Bund".

Dr. Emmenberger will Bärlach in achteinhalb Stunden operieren. Die Operation ist immer nicht gelungen. Emmenberger hat auch Ulrich Friedrich getötet, wegen seinem Bericht. Er ist ein Schriftsteller. Ausserdem will Dr. Hungertobel auch von Emmenberger getötet werden.

Um 7 Uhr kommt Emmenberger nicht, dann erscheint Jude Gulliver. Gulliver ist kein Mensch, aber er will Bärlach helfen und er hat Emmenberger getötet. Als Gulliver noch lebte, wurde er von Nazis erschossen. Sogar hat Nehle ihn ohne Narkose operiert. Der Zwerg, der Hungertobel töten will, wird von Gulliver besiegt. Dieser Roman wird mit dem Tod des Bärlach beendet. Endlich kommt Dr. Hungertobel, um ihn nach Bern Züruckzubringen.


Contoh Percakapan dalam Bahasa Jerman

Einer Frau in einer Notsituation zu helfen, ist nicht Jedermann's Sache. Um jeder Art von Arbeit aus dem Wege zu gehen, kann ein Deutscher seine eigene Sprache nicht mehr. - Gute Unterhaltung, und ..

Kamis, 09 April 2009

Tawakal Ataukah Tak Paham?

(Sebuah Cermin dari Mentalitas Anak Negeri)

Oleh : Andris Susanto

"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman…"

Sepenggal lirik yang sempat tersohor dari Koes Ploes. Lirik yang menggambarkan betapa kaya dan suburnya negeri kita. Namun dalam perjalanannya, negeri ini seperti tenggelam dalam keprihatinan dan keterpurukan. Anak bangsa sekarang ini seperti hidup di tanah kering kerontang dan miskin sumber daya alam. Jamrud Khatulistiwa hanyalah kisah yang menyisakan kesengsaraan bangsa pribumi dan gelak tawa bangsa asing. Masih banggakah kita dengan kekayaan yang belum juga bisa kita nikmati?

Miris memang ketika kita harus bercerita tentang kondisi yang melanda Indonesia pada saat ini. Tapi apa hendak dikata, fakta tak dapat disangkal dan dengan terpaksa kita harus jujur bahwa negeri ini masih meminta para pewarisnya untuk bersabar dan bertahan dalam kekurangan. Harga barang kebutuhan yang mahal, harga bahan bakar minyak yang terus naik, tingginya angka pengangguran, lemahnya penegakan hukum, biaya pendidikan yang tinggi, sampai susahnya mendapatkan layanan kesehatan, adalah rangkaian permasalahan bangsa kita yang belum juga menemui titik terang. Siapakah yang bertanggungjawab atas segala penderitaan ini?

Jika mencari siapa yang salah dan bertanggungjawab atas semua ini, tentu akan sulit karena setiap orang memiliki daya resistant tinggi untuk beralibi dan melakukan pembelaan atas apa yang telah dilakukannya. Yang paling mudah sekarang adalah melihat dan berkata jujur tentang siapa yang jadi korban atas segala ketimpangan yang ada di negeri ini?

Rakyat kecil yang harus mencari alternatif bahan bakar karena mahalnya harga minyak tanah, nelayan kecil yang sampannya kalah bersaing dengan pukat harimau para pencuri ikan, korban-korban ketidakadilan karena hukum masih dapat dibeli, para pengangguran yang hanya bisa bingung karena memiliki tingkat pendidikan yang rendah, anak-anak buta huruf yang tidak dapat mengakses pendidikan karena tak memiliki biaya (Angka buta huruf mencapai 18 juta jiwa untuk anak usia 10 tahun ke atas), dan rakyat kecil yang hanya dapat mengerang dalam sakitnya karena tidak kuasa untuk berobat ke dokter, adalah contoh-contoh nyata dari sekian banyak penderitaan yang ada di negeri tercinta ini. Tidak adakah usaha untuk membebaskan diri dari penderitaan-penderitaan itu?

Tidak ada orang yang menginginkan dirinya tertindas. Begitu juga dengan Bangsa Indonesia. Bangsa ini bukan belum pernah berteriak dan berjuang melawan penindasan. Mulai dari era '45 yang disebut-sebut sebagai titik kulminasi, era '66 yang memunculkan Orde Baru, era '98 yang melahirkan Zaman Reformasi, sampai era sekarang yang merupakan lanjutan Zaman Reformasi yang belum juga kelar, bangsa ini senantiasa bangkit melawan ketidakadilan. Namun sayangnya, perjalanan Bangsa Indonesia bak keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Setelah terbebas dari satu kesengsaraan, kita seperti terbelenggu oleh kesusahan yang baru. Dan yang paling mengenaskan, rakyat seperti terbiasa hidup dalam penderitaan. Tawakal kah mereka? Ataukah mereka tidak paham untuk mengidentifikasi apa itu penderitaan?

Contoh riil dari asumsi di atas adalah ketika kita diterpa Krisis Moneter sekira tahun '97. saat itu hampir semua barang kebutuhan mengalami lonjakan harga. Apakah setelah itu harga kembali turun? Tidak! Tapi yang terjadi kita seperti berusaha paham dan memaklumi keadaan tersebut. Dan kehidupan pun berjalan kembali seperti biasa. Contoh terbaru adalah rangkaian kenaikan BBM yang rencananya akan berlanjut pada Januari tahun depan. Rakyat kecil kembali tertindas. Beribu mahasiswa turun ke jalan menentang kebijakan kenaikan tersebut. Namun apa yang terjadi kemudian? Hanya beberapa saat pasca kenaikan per 1 Oktober gelombang perlawanan itu kembali menyurut malahan akhirnya kita terkecoh berebut dana konpensasi yang sungguh tidak dapat dijadikan solusi dari kenaikan BBM tersebut. Apakah itu yang dinamakan dengan teori, "nasi telah jadi bubur"?